Ini adalah salah satu antologi pemenang LMCR (lomba menulis cerpen
remaja) 2013Rohto Mentholatum Golden Award.
Oleh Adreaningsih Rustandie
“Berdiri
tegak, dagu terangkat, pandangan mata ke depan dan tersenyum. Sempurna!”
demikian dia bergumam. Bahkan setiap kali, sebelum hendak membuka sebuah pintu
besar sebuah ruangan yang disebutnya sebagai kelas. Rena, gadis periang yang
sempurna itu, kembali mengatakan kalimatnya di dalam hati. Dan ketika pintu itu
terbuka, semua mata tertuju padanya.
“Hai Ren…
Pagi!”
“Ren, sini
gabung.”
“Kok baru
berangkat? Kita dari tadi nunggu kamu.”
Ya! Dia memang
hebat. Pintar, cantik, kaya, punya banyak teman dan hal-hal lain yang
membuatnya istimewa. Tapi sebenarnya, dia bukan seperti yang orang lain
pikirkan. Bahkan gadis itu membenci apapun tentang dirinya sendiri.
Rena hanya
tersenyum dan berjalan menuju arah suara-suara itu datang. “Maaf, bisnya lama.”
jawabnya sambil menepuk kedua tangannya di depan wajahnya, diiringi ekspresi
menyesal yang mendalam.
Beberapa
lama kemudian, terdengar suara bel yang menggema di gedung sekolah itu dan
membuat suasana kelas itu mendadak teratur. Seorang pria tua empat puluh tahun,
melangkah masuk dari pintu yang lebarnya hampir satu meter itu. Pak Roni,
adalah guru project. Bukan jenis pelajaran serumit matematika atau sesulit
kimia. Melainkan sesuatu yang sangat sederhana. Seperti namanya “Project”. Pak
Roni selalu memberikan tugas yang aneh-aneh dan berbeda dari guru-guru lainnya.
Seperti tahun lalu, dia menugaskan murid-muridnya untuk membuat daftar
hari-hari yang berkesan seumur hidup, dan jumlahnya harus lebih dari seratus!
Dia gila… itu pendapat murid-murid tentangnya.
“Rumah
sakit.” Pak Roni mengulang kalimat itu setidaknya sudah tiga kali, lalu menatap
kami yang sudah cukup lama menunggu kalimat yang akan diucapkannya selanjutnya.
Tapi dia tidak mengatakan apapun, hanya berjalan mengelilingi kami sambil
membagikan kertas. Kertas itu ada dua, satu bewarna putih dan biru. Pada kertas
biru terdapat sebuah kombinasi tiga digit angka yang aneh. Lalu setelah
membagikan kertas itu Pak Roni kembali ke depan kelas dan menjelaskannya dengan
santai.
“Buatlah
sebuah daftar, 10 daftar tentang apa yang kalian inginkan selama ini. Kertas
putih milik kalian, dan satunya lagi saya ingin kalian berbagi dengan
seseorang.” Jelasnya, lalu terdengar sebuah pertanyaan di ujung meja sana.
“Berbagi
dengan siapa?” tanya salah satu siswa di kelas itu
“Seseorang
yang kalian harus temui, di rumah sakit.” jawab pak Roni singkat, lalu menghela
nafasnya dan meneruskan kalimatnya
“Angka
masing-masih kertas kalian berbeda-beda bukan? Itu sebuah nomer ruangan yang
harus kalian datangi” lanjutnya yang makin membuat seluruh siswanya bingung.
“Untuk apa
kami datang ke sana?” tanya seseorang di seberang meja itu.
“Untuk
bertanya pada mereka tentang apa yang paling mereka inginkan dalam hidup
mereka.” tungkas Pak Roni lalu satu pertanyaan lagi muncul dari salah satu
siswa di meja belakang kelas itu
“ Lalu apa
yang harus kami lakukan?”
“Begini…..”
kata pak Roni
“Tulislah
semua keinginan kalian di kertas putih itu sebanyak sepuluh saja. Setelah itu
datangilah mereka. Lalu tanyakan pada mereka pertanyaan yang sama.” lalu Pak
Roni memberikan satu petunjuk singkat sebelum keluar dari kelas itu.
“Jangan
mendatangi pemilik kertas biru, sebelum mengisi kertas putih kalian. Tulis
dengan spidol hitam dan tidak boleh ada coretan. Pengumpulannya sampai akhir
bulan ini.” lalu ia mengakhiri kelasnya hari itu.
“Haa!
Seenaknya saja memberi perintah, memang kami ini seperti boneka! Tugas apa itu!
Rumah sakit? Dasar, kurang kerjaan!” gerutu Rena dalam hati. Baginya definisi
sekolah itu adalah arena keunggulan hidupnya bukan arena perbudakan dirinya.
Sekolah… tempat untuk dapat berdiri tegak, dagu terangkat, pandangan mata ke
depan dan tersenyum penuh
kepalsuan.
Hampir
sepanjang hari, sampai bel terakhir berbunyi. Dan setelah itu… dia bukanlah
seseorang yang dikenal siapapun, bahkan tidak untuk dirinya sendiri.
Satu hari
itu berjalan dengan sangat cepat, diawali dengan tugas aneh di kelas project
sampai kelas matematika yang benar-benar memulaskan para siswanya. Cuaca di
luar sedang hujan, sepertinya langit sedang tidak ingin memperlihatkan birunya.
Lalu beberapa saat kemudian terdengar suara bel terakhir yang dua kali lebih
panjang dari bel masuk.
Kringgg~
Kringggg~
Mereka…
siswa yang tadinya tertidur pulas tanpa beban di bagian meja belakang itu,
dengan spontan membuka matanya sambil memastikan suara yang datang. Dan saat
itu juga senyum lebar menghiasi wajah mereka “Sudah selesai ya? akkhirrnyaaa”
terdengar suara itu seberang sana.
Mungkin bagi
seluruh siswa, pulang ke rumah adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu, tapi tidak
untuk Rena. Bukankah sekolah itu definisi untuk arena keunggulan hidupnya? Jadi
dapat dipastikan, sesuatu apa saja yang terjadi setelah sekolah usai, bukanlah
sesuatu yang di kuasainya.
“Ren… gak
pulang?” tanya seorang temannya dengan pandangan heran yang melihat Rena masih
duduk termenung menatap langit dari kaca jendela kelasnya
“Ya…duluan
aja.” jawab gadis itu singkat sambil mengangkat wajahnya dan tersenyum.
Kelas itu
sudah kosong beberapa menit yang lalu, tapi Rena masih duduk di sana. Hanya
terdengar suara rintikan air hujan dan suara detik jam dinding yang beriringan.
Gadis itu menghela nafasnya, lalu menarik kursinya perlahan, berdiri, dan
meninggalkan ruangan itu. Bayangan dirinya semakin jauh dan menghilang.
Langkah kaki
selanjutnya dia sudah mencapai sebuah halte bis yang tidak jauh dari gerbang
sekolahnya. Halte bis itu tidak terlalu ramai, yang terlihat hanyalah seorang
pegawai kantor yang sibuk dengan ponselnya, ibu rumah tangga dengan semua sayur
segar di tas belanjaannya, dan dia sendiri yang sedang berdiri diantara
orang-orang itu. Setiap kali Rena melihat kearah pegawai kantor tadi rasanya
seperti hidup itu lebih dari sangat membosankan. Bayangkan saja, mengulangi
hari yang agendanya itu-itu saja, dimarah-marahi atasan dan wajah-wajah lesu
tak bertenaga. Lalu tatapannya mulai teralih kepada ibu rumah tangga yang
membawa sayur-sayur segar di tas belanjaannya tadi, yang terpikirkan pastilah:
suatu saat nanti semua orang juga akan seperti itu, mengurus anak dan melakukan
pekerjaan rumah tangga pada umumnya, dan sepertinya jika itu suatu saat
terjadi, pastilah hidup sudah berakhir.
Masa muda
itu, tidak selamanya dimiliki, dan tidak selamanya ditinggali. Suatu saat,
bunga yang paling harum dan mekar disuatu musim juga akan layu seiring dengan
berjalannya waktu, namun itulah kehidupan. Gadis itu menyadarinya bahkan jauh
sebelum dia tahu akan definisi kehidupan itu.
Suara mesin
bis yang mendekat membuat dirinya spontan berdiri. Lalu beberapa detik
kemudian, dia sudah mendapati dirinya duduk di kursi belakang bis itu. Halte
pemberhentian selanjutnya masih sekitar lima belas menit dari tempat itu. Hujan
masih belum menyerah rupanya, setidaknya hanya rintikan kecil, tapi sama saja.
Suara dering ponsel yang bergetar dalam tasnya membuat dirinya tersentak kaget.
“Halo? ……
ya, hmm..” jawabnya singkat lalu menutup ponselnya. Pandangan matanya masih
menatap keluar jendela bis itu, tapi lima belas menit adalah waktu yang sangat
singkat. Beberapa orang menuruni bis itu bersama dirinya. Setiap orang yang
menuruni bis itu membuka payungnya satu persatu dan ada yang sudah di tunggu
oleh teman-temannya atau keluarganya yang menyodorkan payung untuk orang yang
mereka tunggu. Hanya dia… hanya Rena yang tidak. Sampai pada halte itu, dia
menyusuri jalanan trotoar agar sampai ke rumahnya, bajunya sudah basah, begitu
juga rambutnya. Dia menangis. Walaupun air matanya tersamarkan oleh hujan,
tetap saja dia tidak mungkin membohongi dirinya sendiri.
“Aku pulang.”
sambil membuka pintu besar sebuah rumah di kompleks perumahan elite itu. Sepi,
ia tampak tidak terkejut. Bahkan jika suasana rumah itu berbeda itu malah
menjadi aneh. Dia menutup pintu itu, lalu berjalan menaiki anak tangga dan
membuka pintu lagi. Kali ini ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur
berukuran besar yang cukup menawan. Rumah itu bagus, terang, luas, cantik, dan
mewah. Namun bukanlah rumah yang hangat.
Di atas
meja, disamping tempat tidurnya ada sebuah kado yang cukup besar bersamaan
dengan kartu ucapan “Selamat ulang tahun Rena….. dari Ayah dan Ibu”
“Ha!! Sejak
kapan ulang tahunku menjadi hari ini.?!” serunya sambil melempar kado itu ke
dinding kamarnya. Sebuah buku keluar dari kotak itu, tapi masa bodoh…. dia
tidak peduli sama sekali. Sejenak kemudian dia teringat tentang tugas kelas
projectnya, lalu dengan sedikit menggerutu dia mengeluarkan semua isi tasnya
yang sudah setengah basah kuyup itu.
“Ini
dia…untung tidak basah.” gumamnya pada diri sendiri.
“Oke….” dia
melanjutkan “Hal yang kuinginkan adalah…..” lalu memulai dengan menuliskan
angka satu pada lembaran kertas putih yang dibagikan Pak Roni tadi.
“Ingin ….
apa ya?” gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan ujung pensil ke dagunya. Sekilas
dia memandangi sekelilingnya. Lalu memantapkan posisi duduknya dan menuliskan
keinginannya…
1.
Aku ingin punya band
2. Aku ingin pergi jauh-jauh
3. Aku ingin bisa terbang
4. Aku ingin punya kebun tulip
5. Aku ingin rumah ini dihancurkan saja
6. Aku ingin menjadi orang lain
7. Aku ingin jadi tokoh utama dalam drama
8. Aku ingin nilaiku selalu bagus walaupun aku tidak belajar
9. Aku ingin agar aku tidak punya masalah apapun
10. …..
2. Aku ingin pergi jauh-jauh
3. Aku ingin bisa terbang
4. Aku ingin punya kebun tulip
5. Aku ingin rumah ini dihancurkan saja
6. Aku ingin menjadi orang lain
7. Aku ingin jadi tokoh utama dalam drama
8. Aku ingin nilaiku selalu bagus walaupun aku tidak belajar
9. Aku ingin agar aku tidak punya masalah apapun
10. …..
Dia
berhenti. Masih ada satu keinginan lagi, tapi dia sudah terlalu malas untuk
melanjutkannya. Dengan langkah tersenggal-senggal dia menuju tempat tidurnya
dan dalam hitungan menit dia sudah tertidur pulas. Kertas itu dibiarkannya di
atas meja sampai pagi hari menjelang.
*
Suara bunyi alarm itu membuat dirinya terpaksa membuka matanya, tapi hanya
untuk menekan tombol snoze pada alarm ponselnya.
“Inikan hari
minggu!!!!!” lalu dia kembali menutup tubuhnya dengan selimut tebal itu. Sesaat
kemudian dia teringat tugas projectnya. Rena itu, lebih suka pekerjaannya lebih
cepat selesai, daripada menunda-nunda tidak jelas. Itu mungkin yang membuatnya
selalu lebih unggul dari teman-teman sekelasnya.
Hari itu,
punya pagi yang cerah. Hari yang baik untuk sekedar pergi ke café atau
jalan-jalan ke taman dekat kompleks perumahannya, atau mungkin berkunjung ke
rumah sakit?
“Hmm kamar
112…..” bisiknya ketika dia mendapati dirinya sudah berada di konidor sebuah
rumah sakit tidak jauh dari rumahnya.
“110…..111…
ini dia 112.” sambil menunjuk pintu kamar itu. Dia mengetuk dua kali lalu
berjalan masuk ke ruangan itu. Tampak seorang anak laki-laki seusianya yang
sedang duduk di ranjang , sambil membaca sebuah buku di tangannya.
“Permisi….,.”
serunya ketika membuka pintu itu
“Iya,
silahkan masuk.” jawab anak laki-laki bernama Arya tadi. Namanya sudah diketik
tebal dan ditempelkan di depan pintu masuk ruangan itu.
“Selamat
pagi….saya Rena.” sambil menjulurkan tangannya dan tersenyum.
“Ah iya aku
tahu, kamu siswanya Pak Roni bukan?” jawabnya terus terang.
Aroma
ruangan itu sangat segar, berbeda ketika berada di koridor tadi. Aroma daun
pepermint dan udara pagi, rasanya sejuk dan nyaman. Arya itu, orang yang hangat
dan baik. Dia selalu memberi kesan yang baik setiap gadis itu
memberi satu demi satu pertanyaan.
“Kamu sakit
apa?” tanya Rena penasaran
“Kanker…aku
dalam tahap pemulihan.” jawabnya sambil tersenyum
Deg! Jantungnya berdebar. Kanker? Kata
yang lucu. Selalu terpikirkan olehnya bahwa kanker adalah definisi lain untuk
penyakit yang muncul di koran-koran pagi. Tapi ketika melihatnya, penyakit itu
adalah sesuatu yang sangat mengganggunya.
“Boleh aku
tanya sesuatu?” Rena kembali bertanya, tapi kali ini tatapan matanya lebih
dalam menatap Arya.
“Tentu,
senang sekali jika aku bisa membantumu” balasnya riang
Gadis itu
masih terdiam, dia terus mengatur nafasnya lalu kembali memikirkan kata-kata
yang tepat untuk disampaikan.
“Keinginan…..”
dia diam sejenak, “Apa keinginan kamu selama ini?” gadis itu lalu melanjutkan
kalimatnya. Sepi, tiada jawaban, sempat terpikirkan olehnya bahwa dia menyesal
dengan pertanyaan itu, dan juga untuk keputusannya datang hari ini. Namun
dia salah….
“Lebih
menghargai….” jawab Arya setelah itu, “Lebih menghargai apa yang sudah
kumiliki.” Lanjutnya,
“Aku cukup
bersyukur masih bisa hidup, lebih bersyukur tentang apa yang sudah aku miliki,
dan aku tidak lagi mengeluh…. mengeluh tentang sesuatu yang tidak kumiliki,
tidak lagi.” lalu tersenyum menatap Rena
“Hanya itu?”
balas gadis itu
“Aku juga
ingin agar orang lain berpikir sama sepertiku, itu saja.” jawab laki-laki itu.
Suaranya lirih, berbicara dengan caranya sendiri. Berbicara dari hati ke hati.
Ruangan
Arya, bagi Rena merupakan ruangan yang paling nyaman. Padahal, tidak
seluas kamarnya. Juga, tidak sebagus rumahnya tapi baginya terasa
hangat, sehangat orang Arya . Beberapa menit sudah berlalu, dia tahu
harus meninggalkan ruangan itu cepat atau lambat.
“Aku… boleh
datang ke sini lagi kan?” kata Rena penuh harap.
“Tentu…..
aku pasti akan senang punya teman.” jawab Arya menghargai.
Sore hari
setelah kunjungan itu, Rena hanya duduk termenung di kamarnya. Memikirkan semua
yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Tentang menghargai apa yang sudah
dimilikinya. Dia mengingat sesuatu, dan mencari kertas biru yang kemarin
disimpannya di laci mejanya.
“Ini dia”
serunya senang. “Hm….” gadis itu berpikir sejenak lalu menuliskan keinginan
Arya di atas kertas itu
- 1. Dia ingin agar bisa lebih menghargai apa yang sudah dia miliki.
- 2. Dia ingin orang lain juga dapat berpendapat sama tentang diri mereka.
- 3. …..
Gadis itu
diam sejenak, lalu kemudian memahami. Dibanding dengan keinginannya, keinginan
Arya lebih sederhana dan tulus. Kemudian matanya mulai menatap ruangan di
sekelilingnya. Dia punya segalanya! Sesaat kemudian dia melirik kearah kado
yang tergeletak di lantai yang kemarin dibantingnya. Dia mendekati kotak itu
yang sudah terbuka, di sampingnya terdapat sebuah buku yang cukup tebal. Dibuka-buka
halaman buku itu dan dengan menggerutu gadis itu berkata “Apa-apaan….kotak
sebesar ini, cuma buat buku?” Timpal gadis itu kemudian. Lalu tangannya
berhenti ketika sebuah judul cerita di halaman dua ratus tiga puluh delapan. Keluarga
yang Sempurna, kemudian matanya mulai membaca satu kata pertama, dia tidak
bisa berhenti… lalu membaca cerita selanjutnya, dan seterusnya sampai dia
terlelap. Gadis itu mulai memahami, mengerti dan mulai menghargai.
*
Ya! Suara itu lagi….Suara berisik alarm pagi itu. Tapi kali ini berbeda,
setidaknya hari ini terlihat berbeda di mata Rena. Tiba-tiba sebuah suara
datang.
“Rena…ayo
sarapan sama ayah.” seru seorang laki-laki tua berkacamata yang baru saja masuk
kekamarnya. Rena kaget tak percaya.
“Ayah… sudah
pulang? kapan?” tanya gadis itu penasaran
“Tadi malam,
tapi Rena sudah tidur… ayo makan.” seru ayahnya penuh semangat.
Pagi itu
memang berbeda. Semuanya berbeda, seakan dirinya baru hidup. Meja makan itu,
menampilkan potret keluarga yang sempurna. Benar! Gadis itu mulai bisa mengubah
sudut pandang tentang dirinya, keinginannya, dan hidupnya.
Sebelum
dirinya mengambil tas ransel untuk berangkat sekolah, dia menuliskan
permintaannya yang kesepuluh, yang sempat ditundanya. Dengan sepenuh hati dia
menuliskan,
10. Aku
ingin, agar aku tidak pernah menuliskan ke sembilan keinginanku. Sebagai
gantinya, aku ingin lebih mensyukuri apa yang telah aku punya… lebih menghargai
setiap detiknya, sebelum itu benar-benar berakhir.
Waktu sudah
menunjukkan pukul 6.30. Kakinya sudah sampai pada halaman gedung sekolah itu,
dan menelusuri konidor lantai dua yang langsung tertuju pada ruang guru.
“Permisi…”
Katanya, sambil mengetuk pintu ruangan itu.
“Ya, masuk!
Ada apa?” Jawab seseorang yang berada dalam ruangan, Pak Roni.
“Saya ingin
mengumpulkan tugas kelas Pak.” Jawab Rena dengan percaya diri.
“Oh.. iya
sudah selesai? Cepat sekali.” Tanggap Pak Rono, sambil menerima kertas
yang disodorkan Rena. Setelah itu dia meninggalkan ruangan itu. Pak Roni,
terus membaca jawaban yang ada pada kertas itu, seulas senyum menghiasi
wajahnya.
“Seperti
biasa, dia mengabaikan petunjukku… setidaknya hanya untuk keinginan yang
kesepuluh.” gumam Pak Roni saat itu dan tersenyum penuh arti. Namun bayangan
Rena sudah pergi jauh meninggalkan tempat itu, juga meninggalkan dirinya yang
lama. Dan untuk saat ini dan selanjutnya, akhirnya… Rena bisa
berdiri tegak, dagu terangkat, pandangan mata ke depan, tersenyum dan
menghargai dirinya sendiri: Sudah sempurna!*.
Adreaningsih
Rustandie, Siswi SMKN Teknologi Industri Yogyakarta.
http://lmcr.rayakultura.net/blog/sudah-sempurna/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar